TEMPO.CO, Jakarta - Kembang kempis hubungan kerja sama Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air kembali terjadi. Kemarin, hubungan keduanya memanas tatkala Garuda mengumumkan bahwa Sriwijaya tidak lagi menjadi bagian dari grupnya dan dua perusahaan tersebut akan melanjutkannya hubungan dengan status business to business.
Tak menunggu masalah berlangsung lama, pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun memanggil dua belah pihak. Salah satu solusinya adalah keduanya akan melanjutkan kerja sama selama tiga bulan sembari dilakukan evaluasi dan audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan selama sekitar sepekan ke depan.
Dilansir dari Majalah Tempo Edisi 32/48, Garuda dan Sriwijaya beberapa kali berselisih soal Kerja Sama Manajemen. Perselisihan terutama antara antara Garuda Indonesia Group, melalui PT Citilink Indonesia, dan pemegang saham Sriwijaya Air. Salah satu pangkal penyebab kekisruhan adalah perkara pembagian management fee.
Kisruh pembagian management fee menyebabkan pemilik maskapai Sriwijaya Air mencopot tiga anggota direksi, termasuk direktur utama, yang merupakan perwakilan Garuda Indonesia. Maskapai milik pemerintah itu pun membalas dengan mencabut logo Garuda Indonesia yang tertempel di semua pesawat Sriwijaya, Rabu, 25 September lalu.
Kerja sama manajemen itu semula dimaksudkan untuk menyelamatkan Sriwijaya, yang kolaps. Kinerja keuangan perusahaan tersebut merah karena menggendong utang yang besar. Total nilainya sekitar Rp 3 triliun.
Ihwal persoalan tersebut, pengacara sekaligus pemegang saham Sriwijaya Air, Yusril Ihza Mahendra menilai kekisruhan kerja sama antara kliennya dan Garuda Indonesia disebabkan oleh ketidakjelasan perjanjian awal yang dibuat lebih dari setahun yang lalu. "Sehingga terjadi saling menyalahkan," ujar Yusril di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Kamis, 7 November 2019.